Rabu, 30 Juli 2014

Kisah Inspiratif: Sesadar Sang Penyelam



gambar: politewardrobe.wordpress.com

Seorang pelancong bersiap menyelam di taman laut Bunaken. Dia telah mencawiskan segala keperluannya mulai dari pakaian selam, tabung oksigen, sepatu katak, sampai kacamata dan lampu dahi. Untuk ini semua dia sengaja memilih yang terbaik. Kualitas nomor satu. Baju selamnya dibuat dari bahan khusus yang nyaman dipakai, lentur sekaligus kuat. Sepatu kataknya sesuai desain terbaru yang amat memudahkan mobilitas di bawah air. Dan, sorot lampu dahinya mampu menguatkan jarak pandang hingga beberapa depa.

Lalu byurr! Dia masuk ke dalam air dengan punggung terlebih dahulu. Beberapa saat dia berada di kedalaman 10 meter. Dan coba lihat! Ribuan ikan tertebar dalam bentuk, rerupa, warna, ukuran, dan jenis yang tak sanggup dihinggakan. Ada yang menyendiri, ada yang berkumpul-kumpul dalam koloni, ada yang malu-malu, dan ada yang mendekat-dekut tanpa takut. Di sekitarnya, geliang-geliut terumbu karang dan aneka ganggang. Segalanya warna-warni, lebih kaya dari pelangi, menyatu dalam harmoni dan paduan irama yang indah tak terlukiskan. Alangkah agungnya sang Maha Pencipta! "Subhanallaah!", gumamnya seiring syukur di hati. Tetapi beberapa depa di depan sana dilihatnya sesosok tubuh bercelana kolor berkaos oblong berenang riang. "Hebat!", gumamnya. Menyelam tanpa alat. Mungkin ada sensasinya tersendiri.

Beberapa saat menjelajah, turunlah penyelam kita ke kedalaman 20 meter. Segalanya mulai remang-remang. Lampu dahi mulai menyorot, dan serombongan ikan menyebar ketika dia mendekat, tapi kemudian menyatu lagi sembari menghindar darinya. Warna-warni satwa dan herba mulai berada di sini. Tak seceria di atas, namun agung dan berwibawa. "Allaahu akbar!" Di tiap lapis lautan, Allah tunjukkan kuasaNya yang menakjubkan. Termasuk, itu dia! Si celana kolor kaos oblong yang melambai-lambaikan tangan ketika ia mengacungkan jempol. "Luar biasa!", gumam penyelam kita. "Dua puluh meter dan dia sanggup pulang balik ambil udara ke permukaan!"

Sekarang saatnya tiga puluh meter! Dan rasa takjubnya kepada Allah bertambah syahdu. Juga kepada orang itu! Si celana kolor dan kaos oblong yang kini tegak di hadapannya, di kedalaman 30 meter! Tak sanggup menahan rasa kagum yang membuncah, ia beranikan bertanya sambil memeluk dan berteriak di telinganya, "Pak, Bapak hebat sekali ya! Luar biasa! Untuk sampai ke kedalaman ini saya harus pakai alat macam-macam yang sewanya mahal, juga tabung oksigen yang berat banget! Bapak kok bisa sih sampai sini tanpa alat?! Bagi saya, Bapak adalah penyelam terhebat di dunia! Luar Biasa!!"

Si Bapak menggapai-gapai. Dan dengan tenaga penuh dia berteriak di telinga penyelam kita, namun terdengar lirih seperti sisa-sisa, "Gua tenggelam, Gobl**!!"

"...Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami, mereka mempunyai mata, tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat, dan mereka mempunyai telinga, tapi tidak dipergunakannya untuk mendengar. Mereka itu penaka binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai." (Q.S Al A'raaf [7]: 179)
Kesadaran. Saya kira itulah hal pertama yang membedakan seorang penyelam dengan seorang yang tenggelam. Jika seorang yang menyelam disebut 'sadar', maka yang tenggelam bisa disebut 'lalai'.

Kesadaran membuat kita bisa mempersiapkan diri dan perangkat-perangkat untuk menyelami lautan kehidupan ini. Kesadaran adalah anugerah agar kita bisa memilih yang terbaik di antara alat-alat itu, seoptimal kemampuan kita. Kesadaran membuat mata kita terbuka, tubuh lincah bergerak kian kemari, dan semua indera peka untuk merasakan berbagai keindahan hidup ketika mereka yang tenggelam hanya mengutuk, mengumpat, gelagapan, dan kembung kesakitan dalam lautan nikmat Tuhan. Mengapa manusia bisa beriman, beribadah, bersyukur, dan bersabar? Salah satu jawaban termudah adalah, karena dia sadar. Karena dia tidak lalai.

Tetapi sudahkah kita jalani hidup kita dengan sepenuhnya sadar? Pada tanya ini, biasanya saya menambahkan satu simulasi untuk audiens dalam forum-forum yang saya isi. Saya minta mereka semua memegang tengkuknya. "Perhatikan instruksi saya! Sekarang saya mohon semuanya pegang tengkuk!", begitu aba-aba saya. Tetapi apa yang terjadi? Mayoritas audiens biasanya memegang dahinya. Mengapa? Karena saya, sang pemberi aba-aba justru memegang dahi ketika meminta mereka semua memegang tengkuk.

Ya. Seringkali kita terhijab dari pesan-pesan sejati, karena kita silau melihat pemandangan di seputaran. Bukan aba-aba yang kita tangkap, tapi contoh yang tampak. Telinga kita dikalahkan oleh mata. Kita hidup dengan mengikuti trend dan mode.
"Bukannya trend dan mode itu salah, tetapi ketidakmampuan kita mendengar pesan sejati Ilahi gara-gara perhatian kita yang berlebihan terhadap banjiran data dan informasi lain itulah yang berpotensi bahaya."
 Bahkan dalam perilaku beragama pun begitu: kita jadi lebih perhatian pada siapa yang menyampaikan dan semua tindak-tinduknya dibanding pesan itu sendiri. Dan, itu suatu bentuk ketidaksadaran.
Lalu apa yang harus kita lakukan? Sederhananya, sadarlah!

Di lautan nikmat, dua makhluq berpisah
Yang satu tenggelam, yang satu menyelam.
Kau tahu apa bedanya?

Visi di jalan cinta para pejuang awal-awal bermodal kesadaran. Sadar bahwa kita manusia akan menuntun kita memanfaatkan berjuta karunia Allah Ta'aalaa untuk mengabdi padaNya. Sadar bahwa kita seorang muslim memandu kita untuk menjadi rahmat bagi alam semesta. Sadar bahwa kita seorang mujahid, memnatapkan langkah kita di jalan cinta para pejuang. Sadarlah!


Daftar pustaka:
Fillah, Salim A., (2012). Jalan Cinta Para Pejuang.Yogyakarta: Pro-U Media

Selasa, 22 Juli 2014

Selamat Datang di Catatan ekalimut


(photo: bersama sahabat-sahabat ta'lim alif)


Bismillaah.
Assalaamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Ini postingan pertamaku. Semoga bisa bermanfaat. Sampaikanlah walau hanya satu ayat :')

#Indikator kesuksesan seorang muslim adalah ketika dirinya bermanfaat bagi orang lain.

Rasulullah saw. bersabda,


خير الناس أنفعهم للناس
Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain (HR. Ahmad, Thabrani, Daruqutni. Dishahihkan Al Albani dalam As-Silsilah As-Shahihah)